Peluang Ekspor Tekstil Nasional: Fokus ke Pasar Uni Eropa di Era IEU CEPA

Kementerian Perindustrian menyatakan bahwa industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia memiliki potensi besar untuk meningkatkan ekspor, dengan pasar Uni Eropa sebagai salah satu target utama.

Fungsional Pembina Industri Ahli Madya Direktorat Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian, Agus Ginanjar, menyampaikan hal tersebut di Solo, Jawa Tengah, pada Kamis, 12 September 2024. Dalam acara Talk Show bertajuk “Menuju Era Kebangkitan Industri Tekstil dan Produk Tekstil dengan Menyiapkan SDM Kompeten dan Siap Kerja” yang diadakan di Aula Akademi Komunitas Industri Tekstil dan Produk Tekstil (AK-Tekstil) Solo, Agus menyoroti peluang besar bagi industri TPT nasional untuk memperluas ekspor ke pasar Eropa.

“Apalagi dengan segera diimplementasikannya IEU CEPA (Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement),” ujar Agus. Hal ini, ditambah dengan kondisi ekonomi Bangladesh yang saat ini kurang stabil, memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk mengambil alih pasar yang sebelumnya didominasi oleh negara tersebut.

“Dengan pasar Bangladesh yang sebagian besar berada di Eropa, kini adalah saat yang tepat bagi industri TPT kita untuk ‘nyalip di tikungan’. Kita harus memanfaatkan kesempatan ini untuk meningkatkan ekspor kita, khususnya ke pasar Eropa,” kata Agus. Agus menjelaskan bahwa Indonesia memiliki potensi besar dengan industri TPT yang terintegrasi dari hulu hingga hilir, mulai dari serat, benang, kain, hingga pakaian jadi. “Di dunia, hanya ada tiga negara yang memiliki industri TPT terintegrasi seperti ini, yaitu Indonesia, Tiongkok, dan India,” jelasnya.

Terkait dengan IEU CEPA, Agus mengungkapkan bahwa salah satu aturan dalam perjanjian tersebut adalah two steps process, yang mendorong penggunaan bahan baku dari Indonesia untuk ekspor ke Eropa. “Jadi, potensi ekspor kita memang sangat besar,” tambah Agus. Meski harus bersaing dengan Tiongkok dan India, Agus berpendapat bahwa Indonesia tidak harus bersaing hanya dari sisi harga.

“Meskipun dalam hal efisiensi harga, Indonesia mungkin kalah bersaing, ada faktor lain seperti kualitas, lead time, dan kepatuhan sosial yang bisa menjadi keunggulan produk kita. Dalam hal ini, Indonesia sudah lebih baik dibandingkan negara lain,” ucapnya. Direktur AK-Tekstil Solo, Wawan Ardi Subakdo, menilai bahwa Indonesia masih memiliki potensi besar untuk menjadi penghasil tekstil utama. “Saat ini, kita adalah pasar tekstil utama, dan ada kesempatan untuk menjadi penghasil tekstil utama di masa depan,” katanya.

Wawan menambahkan bahwa pihaknya siap mendukung terciptanya ekosistem industri tekstil dalam negeri dan mengklaim bahwa permintaan terhadap tenaga kerja lulusan AK-Tekstil selalu lebih tinggi dari kapasitas yang tersedia. “Dengan kompetensi dan kualitas yang baik, para lulusan akan menjadi bagian dari kebangkitan industri tekstil nasional,” ujarnya. Wawan juga menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan industri untuk menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan industri tekstil.

“Kolaborasi ini akan menjadi kunci untuk mengembangkan sektor ini menjadi tulang punggung ekonomi nasional yang terus tumbuh positif dan berdaya saing,” tambahnya. Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Tengah, Liliek Setiawan, menegaskan bahwa posisi industri tekstil di Indonesia sangat krusial.

“Hingga tahun 2023, industri TPT masih merupakan penyumbang ekspor terbesar setelah migas. Bahkan selama Covid-19, sektor ini memberikan kontribusi sebesar US$ 14,22 miliar dan menyerap sekitar 4,5 juta pekerja,” ujarnya. Liliek berharap pada tahun 2030, industri TPT dapat mencapai angka ekspor hingga 48 miliar dolar AS dengan kenaikan pangsa pasar dari 1,47 persen menjadi 5 persen.

“Kami melakukan target ini secara moderat, dan berharap hasilnya melebihi target. Untuk itu, diperlukan tambahan tenaga kerja sebanyak 3,9 juta orang. Dengan peningkatan sektor tekstil, kita dapat menyerap bonus demografi yang akan datang,” katanya.

Berita Lainnya