Industri Tekstil Terganggu Impor Borongan Ilegal

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) masih menjadi industri prioritas penopang ekonomi nasional. Kontribusi terhadap ekspor senilai USD5,76 miliar dan menyerap tenaga kerja hingga 3,87 juta orang.

Kinerja industri TPT tahun 2024 sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti Covid-19 serta kondisi geopolitik dan ekonomi dunia. Misalnya, perang Rusia-Ukraina, inflasi di Amerika Serikat dan Uni Eropa, serta perang dagang Amerika Serikat dan Tiongkok.

Menghadapi tantangan melemahnya kinerja industri TPT akibat situasi global yang memengaruhi permintaan, Plt Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian Reni Yanita membeberkan bahwa pihaknya mendorong tiga strategi pemulihan industri tekstil yang ditopang oleh tiga komponen utama. Pertama, menciptakan SDM industri yang mampu membaca arah desain produk yang kompetitif dan inovatif.

Kedua, mendukung ketersediaan bahan baku dan keseimbangan industri hulu-antara-hilir yang berdaya saing. "Ketiga, menghidupkan kembali industri permesinan tekstil dalam negeri yang dapat mendorong peningkatan produktivitas dan efisiensi industri TPT nasional untuk menghadapi persaingan pasar global," ujar Reni, kemarin (1/9). Dia menambahkan, solusi atas permasalahan jangka pendek industri TPT yang bisa diupayakan di antaranya pemberantasan impor ilegal dan impor pakaian bekas hingga pengawasan penjualan produk tersebut di marketplace dan media sosial.

Kemudian, implementasi kebijakan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) pada sektor industri TPT serta aktif mengenakan instrument tariff barrier dan non-tariff barrier sebagai perlindungan industri TPT dalam negeri. Selain itu, sambung dia, program restrukturisasi mesin/peralatan TPT juga memiliki dampak positif terhadap efisiensi proses dan peningkatan produktivitas. Pada 2024, pemerintah memperluas cakupan industri dan penambahan anggaran program restrukturisasi mesin/peralatan TPT.

"Upaya selanjutnya untuk memperkuat daya saing industri TPT dijalankan oleh Badan Standardisasi dan Kebijakan Industri (BSKJI) Kemenperin dengan melaksanakan berbagai kegiatan pembinaan industri," tegas Reni. Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengamini bahwa ekosistem tekstil Indonesia punya banyak PR mendesak yang harus diatasi.

Dia menegaskan bahwa momok bernama impor ilegal sudah membayangi industri tekstil RI selama lebih dari 7 tahun, bahkan sebelum pandemi. "Banyak kalangan tekstil sudah menyampaikan keluhan terkait dengan praktik impor borongan dan underinvoicing, bahkan sudah dijelaskan secara detail titik permasalahan dan usulan solusinya, namun belum ada tindakan lanjut," ujar Redma. (agf/fal/thi/dek)

Berita Lainnya