Kementerian Perindustrian menilai industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional masih berpeluang besar meningkatkan lagi ekspor. Salah satu kawasan yang bisa dibidik khususnya adalah pasar Uni Eropa. Hal tersebut disampaikan oleh Fungsional Pembina Industri Ahli Madya Direktorat Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian, Agus Ginanjar di Solo, Jawa Tengah, belum lama ini.
Saat ditemui usai menjadi narasumber dalam Talk Show Menuju Era Kebangkitan Industri Tekstil dan Produk Tekstil dengan Menyiapkan SDM Kompeten dan Siap Kerja di Aula Akademi Komunitas Industri Tekstil dan Produk Tekstil (AK-Tekstil) Solo, Agus menyebutkan industri TPT masih punya peluang yang besar untuk meningkatkan ekspor ke Eropa.
"Apalagi sebentar lagi IEU CEPA (Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement) diimplementasikan," ujar Agus. Hal itu ditambah lagi dengan kondisi perekonomian Bangladesh yang saat ini sedang tidak baik-baik saja. Menurut dia, Indonesia harus segera mengambil peluang dengan meningkatkan ekspor ke pasar Eropa yang selama ini menjadi pasar terbesar bagi Bangladesh.
"Sementara pasar Bangladesh itu kebanyakan Eropa. Sebenarnya ini saatnya industri TPT nasional kita untuk bisa 'nyalip di tikungan'. Kita bisa menaikkan lagi ekspor kita, khususnya ke pasar Eropa tersebut," kata Agus. Peluang tersebut, menurut Agus, juga didukung potensi yang dimiliki Indonesia dengan industri TPT yang terintegrasi dari hulu hingga hilir. Mulai dari serat, benang, kain, bahkan pakaian jadi. "Di dunia hanya tiga negara yang industri TPT-nya terintegrasi dari hulu hingga hilir, yaitu Indonesia, Tiongkok, dan India."
Ia menambahkan terkait dengan IEU CEPA, salah satu rule atau aturan dalam kerja sama itu adalah two steps process, bahwa dalam melakukan ekspor ke Eropa itu didorong untuk menggunakan bahan baku dari Indonesia. "Jadi potensinya memang besar," kata dia.
Jika harus menghadapi persaingan dengan dua negara lain yakni Tiongkok dan India, Agus berpendapat Indonesia tak melulu harus bersaing dari sisi harga. Menurutnya, ada beberapa komponen lain yang juga bisa menjadi keunggulan bagi produk Indonesia seperti kualitas, lead time, hingga pemenuhan kepatuhan sosial. "Mungkin kalau dari efisiensi, Indonesia bisa saja kalah (bersaing) dari harga. Tapi dari faktor lain masih bisa diunggulkan. Kualitas, lead time, hingga pemenuhan social compliance, seperti isu ketenagakerjaan, lingkungan, dan lainnya, Indonesia sudah jauh lebih baik dari negara sebelah," ucap dia.
Direktur AK-Tekstil Solo, Wawan Ardi Subakdo menyatakan Indonesia sebenarnya masih punya potensi besar menjadi penghasil tekstil utama. “Saat ini kita adalah pasar tekstil utama. Kesempatan masih ada untuk menjadi penghasil tekstil utama,” katanya. Wawan menyatakan pihaknya siap mendukung terciptanya ekosistem industri tekstil di dalam negeri. Ia mengklaim saat ini permintaan industri terhadap kebutuhan tenaga kerja lulusan AK-Tekstil selalu lebih tinggi dari kapasitas yang disediakan oleh perguruan tinggi itu.
“Dengan kompetensi andal dan kualitas bagus maka para lulusan akan menjadi bagian dari kebangkitan industri tekstil dalam negeri,” katanya. Untuk itu, ia menilai perlu adanya kolaborasi antara pemerintah dan industri. Hal itu akan menjadi kunci terciptanya ekosistem dalam mendukung pertumbuhan industri tekstil ke depan. "Bahkan sektor ini bisa jadi tulang punggung ekonomi nasional yang terus tumbuh positif dan berdaya saing,” ujar dia.
Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Tengah, Liliek Setiawan mengatakan posisi industri tekstil dan produk tekstil di Indonesia sangat krusial. “Sampai tahun 2023 industri TPT masih jadi penyumbang ekspor terbesar setelah migas. Bahkan saat Covid-19 industri TPT masih memberikan kontribusi sebesar US$ 14,22 miliar. Saat itu sektor ini menjadi jejaring pengaman sosial karena mampu menyerap sekitar 4,5 juta pekerja,” katanya. Ia pun berharap pada tahun 2030 industri TPT bisa mencapai angka ekspor hingga 48 miliar dolar AS dengan kenaikan pangsa pasar dari 1,47 persen menjadi 5 persen. “Kami lakukan lebih moderat, kami harapkan hasilnya lebih tinggi dari target. Untuk itu perlu tambahan tenaga kerja hingga 3,9 juta lagi. Dengan peningkatan sektor tekstil tentu punya peran menyerap bonus demografi yang akan datang,” katanya.