Pelaku usaha di bidang tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam berbagai kesempatan menyampaikan bahwa perlu kerjasama semua pemangku kepentingan untuk memulihkan kondisi industri pertekstilan Indonesia saat ini. Menurut mereka kondisi sulit industri TPT sesungguhnya telah berlangsung lama jauh sebelum adanya covid-19 dan semakin parah dengan adanya pendemi. Kesulitan terbesar pelaku usaha yang berorientasi pasar dalam negeri adalah sulit bersaing dengan gempuran produk impor yang masuk secara prosedural sekalipun dan lebih-lebih yang masuk secara non prosedural.
Sebagai akibatnya kebanyakan produsen sulit bertahan dan terpaksa mengurangi produksi karena berkurangnya permintaan sebagai akibat dari membanjirnya propduk impor di pasar dalam negeri. Membanjirnya produk impor khsusnya pakaian jadi benar-benar membuat produsen dalam negeri khusunya IKM tidak berdaya. Pesanan kain untuk bahan baku pakaian mengalami penurunan yang sangat signifikan karena pakian yang dihasilkan untuk dijual dipasar dalam negeri seperti Tanah Abang dan Culpilir sulit bersaing dengan pakaian impor
Sementara untuk pasar luar negeri produk Indonesia secara umum termasuk golongan TPT yang mahal untuk kategori dan jenis yang sama dibandingkan dengan produk dari negara pesaing di beberapa pasar utama seperti Amerika., Eropa dan Jepang seperti diakui oleh beberapa buyer dunia. Pelaku ekspor juga mengatakan bahhwa salah satu pemicu TPT Indonesia lebih mahal dari negara pesaing adalah karena tidak adanya FTA dengan pasar utama seperti Amerika dan Uni Eropa sehingga mendapatkan bea masuk yang tinggi. Disampaing itu sistem pengupahan di Indonesia yang menerapkan upah sektoral di industri padat karya khususnya garmen menjadi pertimbangan tersendiri untuk buyer saat menetapkan volume order yang akan ditempatkan di Indonesia.
Untuk kondisi pasar dalam negeri, salah satu yang menjadi sorotan belakangan ini adalah importasi TPT yang menyalahi prosedural seperti yang terjadi di Batam dan Surabaya. Untuk mengurangi bea masuk terjadi rekayasa dokumen berupa laporan volume barang diperkecil dan asal barang dirubah dalam PIB. Koordinator Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Kejakgung), Rudi Margono mengakui masih adanya celah yang bisa dimanfaatkan oknum untuk melakukan impor ilegal dan modusodus yang paling umum adalah impor melebihi kuota. Menurut Rudi Batam dan Surabaya masih menjadi pintu utama bagi masuknya TPT ilegal. Setidaknya hal itu terlihat pada dua kasus penangkapan terakhir di daerah tersebut. "Dokumen dimanipulasi. Isi kontainer berbeda dengan yang ada di dokumen. Ada kongkalikong dengan pihak penerima," katanya.
Direktur Impor Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag, I Gusti Ketut Astawa mendukung langkah Kejakgung bila menemukan importasi ilegal. Kemendag telah menyiapkan regulasi untuk mengendalikan impor. “Kalau ada yang tidak sesuai dengan prosedur, sikat saja. Simpel jawabannya. Ini juga perlu peran dari masyarakat, artinya kalau melihat ada yang mencurigakan laporkan saja,” tandas Ketut Astawa. Dia menjelaskan, pengetatan impor sebenarnya sudah diatur Permendag 77 Tahun 2019. Aturan itu menetapkan bahwa yang bisa mengimpor adalah produsen (API-P). Lalu pemegang Angka Pengenal Impor-Umum (API-U) boleh mengimpor tetapi hanya untuk UMKM.
ketua umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API Pusat) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja dalam webinar penyelamatan industri TPT Nasional belum lama ini mengusulkan agar pemerintah memperketat aturan impor. Menurutnya dengan industri kolaps maka akan banyak pekerja tekstil yang terkena dampaknya. Dia mengingatkan bahwa Indonesia dengan populasi nomor 4 terbesar di dunia menjadi pasar yang menggiurkan bagi negara-negara produsen TPT, seperti Tiongkok, Bangladesh, dan Vietnam.
Menurut Jemmy pemegang API-P perlu diverifikasi karena dengan sistem online siapapun bisa membuat API-P untuk mengimpor bahan baku. “Kami meminta API-P betul-betul diverifikasi, apakah benar mempunyai karyawan, bayar listriknya berapa, bayar pajaknya berapa. Mungkin itu bisa mengontrol para pemegang API-P bodong,” tegas dia.