Pelaku usaha di sektor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) meminta pemerintah untuk memperhatikan kondisi industri TPT Indonesia dalam Kerjasama dengan Bangladesh melalui IB-PTA (Indonesia-Bangladesh Preferential Trade Agreement) mengingat industri tekstil di Indonesia sangat penting bagi perekonomian nasional. TPT merupakan salah satu peraih devisa terbesar dan juga sebagai penyerap tenaga kerja karena sifat industrinya yang padat karya terutama di sektor pakaian jadi.
Masuknya garmen Bangladesh ke Indonesia akan semakin memberatkan perusahaan yang berorientasi pasar dalam negeri untuk bersaing karena faktanya Garmen Bangladesh saat ini terkuat ke dua setelah China. Pelaku usaha menilai Indonesia akan kalah bersaing dengan Bangladesh karena masih kalah dalam banyak hal. Dari harga gas industri misalnya, Bangladesh menerapkan harga US$3,22 per MMBTU untuk pelaku tekstilnya.
Selain itu, tarif listrik juga flat sebesar US$0,105/kWh. Bangladesh juga merupakan eksportir pakaian jadi terbesar kedua di dunia dengan nilai per 2021 sebesar $39,14 miliar. Sementara itu harga gas industri di Indonesia berkisar US$11-12 per MMBTU, dan tarif listrik tidak flat dengan jam malam lebih mahal. Tentu dengan kondisi ini pasar dalam negeri yang mulai beragairah bisa terancam dengan persetujuan perjanjian dagang Indonesia – Bangladesh Preferential Trade Agreement (IB-PTA) mengingat sejumlah produk tekstil turut menjadi bahasan perundingan dalam perjanjian tersebut.
Menurut Indef perdagangan bebas industri tekstil domestik dengan Bangladesh harus direspons dengan cepat oleh pemerintah dengan serangkaian kebijakan untuk menopang daya saing karena harus didukung dengan level of playing field yang setara agar tak merugikan industri lokal. Peneliti di Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan agar dapat bersaing, pemerintah hendaknya memberikan insentif untuk mengintervensi struktur biaya produksi sehingga dapat mengejar keunggulan kompetitif tekstil Bangladesh.
Sejumlah faktor dalam struktur biaya produksi seperti gas industri, listrik, upah pekerja, dan kemudahan logistik harus menjadi pertimbangan pemerintah, baik dalam perundingan perjanjian maupun perumusan insentif. Heri meyakini industri tekstil akan tetap menjadi salah satu primadona di antara sektor-sektor manufaktur lain. "Kita tidak menutup diri untuk bersaing dengan negara-negara lain, tetapi industri lokal harus diperhatikan," lanjutnya.